Selasa, 19 April 2011

PERJALANAN TASAWUF dlm KAITAN TAKHALLI, TAHALLI, TAJALLI


Perjalanan Tasawuf Dalam Kaitan Takhalli, Tahalli, Tajalli


 



            Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu. Ia cenderung ingin menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia. Menurut Al-Gazali, cara hidup seperti ini akan membawa manusia ke jurang kehancuran moral.[1] Kenikmatan hidup di dunia telah menjadi tujuan umat pada umumnya. Pandangan hidup seperti ini menyebabkan manusia lupa akan wujudnya sebagai hamba Allah yang harus berjalan di atas aturan-aturan-Nya.
      Untuk memperbaiki keadaan mental yang tidak baik tersebut, seseorang yang ingin memasuki kehidupan tasawuf harus melalui beberapa tahapan yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu sampai ketitik terendah dan bila mungkin mematikan hawa nafsu itu sama sekali. Tahapan tersebut terdiri atas tiga tingkatan yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.
1.     Takhalli
     Takhalli, berarti mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan kehidupan duniawi.[2] Dalam hal ini manusia tidak diminta secara total melarikan diri dari masalah dunia dan tidak pula menyuruh menghilangkan hawa nafsu. Tetapi, tetap memanfaatkan duniawi sekedar sebagai kebutuhannya dengan menekan dorongan nafsu yang dapat mengganggu stabilitas akal dan perasaan. Ia tidak menyerah kepada setiap keinginan, tidak mengumbar nafsu, tetapi juga tidak mematikannya. Ia menempatkan segala sesuatu sesuai dengan proporsinya, sehingga tidak memburu dunia dan tidak terlalu benci kepada dunia.
      Jika hati telah dihinggapi penyakit atau sifat-sifat tercela, maka ia harus diobati. Obatnya adalah dengan melatih membersihkannya terlebih dahulu, yaitu melepaskan diri dari sifat-sifat tercela agar dapat mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki.

2.     Tahalli
      Setelah melalui tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang tidak baik dapat dilalui, usaha itu harus berlanjut terus ke tahap kedua yang disebut tahalli. Yakni, mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan taat lahir dan bathin.[3] Dalam hal ini Allah SWT berfirman : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. 16 : 90 )
      Dengan demikian, tahap tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan tadi. Sebab, apabila satu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak segera ada penggantinya maka kekosongan itu bisa menimbulkan prustasi. Oleh karena itu, setiap satu kebiasaan lama ditinggalkan, harus segera diisi dengan satu kebiasaan baru yang baik. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan dari kebiasaan akan menghasilkan kepribadian. Jiwa manusia, kata Al-Gazali, dapat dilatih, dapat dikuasai, bisa diubah dan dapat di bentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.[4]
      Sikap mental dan perbuatan luhur yang sangat penting diisikan ke dalam jiwa seseorang dan dibiasakan dalam kehidupannya adalah taubah, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, cinta, ma’rifah, dan kerelaan.[5] Apabila manusia mampu mengisi hatinya dengan sifat-sifat terpuji, maka ia akan menjadi cerah dan terang.
      Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang tercela ( takhalli ) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji ( tahalli ), segala perbuatan dan tindakannya sehari-sehari selalu berdasarkan niat yang ikhlas. Seluruh hidup dan gerak kehidupannya diikhlaskan untuk mencari keridhoan Allah semata. Karena itulah manusia yang seperti ini dapat mendekatkan diri kepada-Nya.

3. Tajalli
     Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka tahapan pendidikan mental itu disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli berarti terungkapnya nur gaib untuk hati. Dalam hal ini kaum sufi mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT : Allah adalah nur (cahaya) langit dan bumi (QS. 24:35 )[6].
      Para sufi sependapat bahwa untuk mencapai tingkat kesempurnaan kesucian jiwa itu hanya dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu. Dengan kesucian jiwa ini, barulah akan terbuka jalan untuk mencapai Tuhan. Tanpa jalan ini tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan itu dan perbuatan yang dilakukan tidak dianggap perbuatan yang baik. (M.M. Syarif :1999).[7]
      Untuk melestarikan dan memperdalam rasa ketuhanan, ada beberapa cara yang diajarkan kaum sufi, antara lain :
a.      Munajat
      Secara sederhana kata ini mengandung arti melaporkan diri ke hadirat Allah atas segala aktivitas yang dilakukan.[8] Ini adalah salah satu bentuk do’a yang diucapkan dengan sepenuh hati disertai dengan deraian air mata dan dengan bahasa yang puitis. Doa dan air mata itulah munajat sebagai manifestasi dari rasa cinta dan rindu kepada Allah. Latihan dengan ibadah seperti itu adalah cara memperdalam penghayatan rasa ketuhanan.
b.      Muraqabah dan Muhasabah
      Menurut Abu Zakaria Ansari, muraqabah adalah senantiasa memandang dengan hati kepada Allah dan selalu memperhatikan apa yang diciptakan-Nya.[9] Jadi, sesuai dengan pengertian ini bahwa muraqabah itu merupakan suatu sikap mental yang senantiasa melihat dan memandang baik dalam keadaan bangun/tidur, bergerak/diam, dan di waktu lapang maupun susah.
     
      Itulah beberapa tahapan dalam pembinaan tasawuf. Mudah-mudahan dengan melakukan proses tahapan tersebut, manusia dapat mengenal kehidupan tasawuf yang sesungguhnya.
     

DAFTAR PUSTAKA

  1. As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996
2.   Said, Usman, dkk. Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan : Naspar Djaja,1981


[1] Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf  ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996 ), h. 65
[2] Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf ( Medan : Naspar Djaja, 1981 ), h. 99
[3]Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf , h. 69
[4] Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf, h. 102
[5] Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf , h. 71
[6] Ibid, h. 71
[7] Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf , h. 111
[8] Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf , h. 74
[9] Ibid, h. 75

1 komentar: